JAKARTA - Wacana kemandirian energi kembali menguat seiring rencana pemerintah mengurangi ketergantungan impor bahan bakar.
Salah satu langkah besar yang tengah dipersiapkan adalah penghentian impor solar, yang dinilai menjadi titik penting dalam transformasi sektor energi nasional.
Kebijakan ini pun memunculkan beragam respons dari pemerintah, pelaku usaha, hingga pengamat energi.
Di tengah optimisme atas bertambahnya kapasitas kilang dalam negeri, pemerintah menegaskan bahwa keputusan ini tidak diambil secara tergesa-gesa.
Kesiapan infrastruktur dan keberlanjutan pasokan menjadi faktor utama sebelum impor solar benar-benar dihentikan.
Target Penghentian Impor Solar Nasional
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia memastikan pemerintah menargetkan penghentian impor solar mulai April 2026.
Kebijakan ini sejalan dengan rampungnya proyek Refinery Development Master Plan Balikpapan yang diproyeksikan membuat pasokan solar domestik mengalami kelebihan produksi.
Bahlil menjelaskan, apabila RDMP Balikpapan beroperasi penuh pada 2026, produksi solar nasional berpotensi surplus sekitar 3 juta hingga 4 juta kiloliter.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah menargetkan seluruh kebutuhan solar nasional dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri tanpa harus bergantung pada impor.
“Solar pada 2026, kalau RDMP Balikpapan sudah jadi, itu surplus sekitar 3–4 juta KL. Agenda kami 2026 itu tidak ada impor solar lagi,” ujar Bahlil.
Pernyataan ini menegaskan arah kebijakan pemerintah menuju kemandirian pasokan energi.
Fleksibilitas Impor Awal Tahun
Meski menargetkan penghentian impor mulai April, Bahlil membuka peluang impor dalam jumlah terbatas pada awal 2026. Hal ini bergantung pada kesiapan operasional kilang RDMP Balikpapan yang masih dalam tahap penyelesaian akhir.
Ia menyebutkan, jika RDMP Balikpapan baru dapat beroperasi penuh sekitar Maret 2026, maka impor solar masih mungkin dilakukan pada Januari hingga Februari. Namun, jumlahnya akan disesuaikan dengan kebutuhan aktual di lapangan.
“Tergantung kesiapan kilang. Kalau baru bisa Maret, berarti Januari–Februari mungkin masih ada impor sedikit. Tapi kalau tidak perlu impor, ya tidak usah. Ngapain impor kalau kita sudah siap,” jelas Bahlil.
Pernyataan ini menegaskan bahwa impor hanya menjadi opsi sementara, bukan kebijakan utama.
Kesiapan Kilang dan Peran Pertamina
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan kebijakan penghentian impor solar oleh badan usaha swasta pengelola SPBU akan berlaku mulai April 2026.
Mulai saat itu, seluruh kebutuhan solar nasional, termasuk untuk SPBU swasta, wajib dipenuhi dari produksi kilang dalam negeri atau melalui Pertamina.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan, kapasitas kilang nasional saat ini mencapai sekitar 1,18 juta barel per hari.
Sementara kebutuhan BBM nasional berada di kisaran 1,6 juta barel per hari, sehingga selisihnya selama ini masih dipenuhi melalui impor.
Kapasitas kilang nasional tersebar di sejumlah fasilitas, antara lain Kilang Cilacap dengan kapasitas 348.000 barel per hari, RDMP Balikpapan 360.000 barel per hari, Kilang Dumai 170.000 barel per hari, Balongan 125.000 barel per hari, Plaju 134.000 barel per hari, serta Kilang Kasim di Sorong sebesar 10.000 barel per hari.
“Keseluruhan kilang bisa di-setting produksinya sesuai kebutuhan. Diharapkan produksi solar dan avtur dapat dipenuhi dari kilang dalam negeri,” kata Yuliot.
Dari sisi operator, Pertamina juga menyatakan siap mendukung kebijakan tersebut dengan menyesuaikan produksi solar sesuai kebutuhan nasional.
Respons Swasta dan Pandangan Pengamat
Meski demikian, rencana penghentian impor solar memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha SPBU swasta.
Praktisi industri migas sekaligus Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana, Hadi Ismoyo, menilai kebijakan ini berpotensi mempersempit ruang gerak swasta di sektor hilir migas.
“Terus terang kami prihatin karena ruang gerak SPBU swasta semakin terbatas. Padahal Indonesia menganut sistem terbuka. Dalam Perpres Nomor 96 Tahun 2024, konsep penyangga energi nasional juga melibatkan swasta,” kata Hadi.
Ia menilai kebijakan tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa pasokan BBM hanya berasal dari satu pintu, yakni Pertamina.
Hadi juga mengingatkan bahwa meskipun kapasitas kilang nasional pasca-RDMP Balikpapan mendekati 1,2 juta barel per hari dan relatif cukup secara kuantitas, masih ada tantangan dari sisi spesifikasi dan mutu produk.
“Cukup dari sisi kapasitas, tetapi belum tentu dari sisi spesifikasi dan mutu sesuai kebutuhan SPBU swasta,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menilai kebijakan ini sangat bergantung pada keberhasilan RDMP Balikpapan dan pencapaian target mandatori biodiesel.
Jika RDMP berjalan sesuai rencana dan target biodiesel FAME B50 sebesar 18 juta kiloliter tercapai, serta produksi solar domestik mencapai 24,5 juta kiloliter, Indonesia berpotensi mengalami surplus pasokan.
Namun, Yayan mengingatkan bahwa jika target tersebut tidak tercapai, impor solar justru berpotensi meningkat. Ia memperkirakan impor solar pada 2026 masih bisa berada di kisaran 6,1 hingga 6,2 juta kiloliter, sejalan dengan tren impor pada 2022–2025.
Menurutnya, kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada kesiapan kilang dan kemampuan blending biodiesel, serta tetap memberi ruang persaingan bagi sektor swasta.