MPR

Impor Energi Hambat Ketahanan Ekonomi Nasional Menurut MPR

Impor Energi Hambat Ketahanan Ekonomi Nasional Menurut MPR
Impor Energi Hambat Ketahanan Ekonomi Nasional Menurut MPR

JAKARTA - Ketahanan ekonomi sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh angka pertumbuhan, tetapi juga oleh kemampuan mengelola sumber daya strategis secara mandiri. 

Di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian, ketergantungan terhadap impor energi menjadi persoalan serius yang dapat melemahkan fondasi ekonomi nasional. 

Kondisi inilah yang kembali disoroti oleh pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai refleksi akhir tahun.

Indonesia sejatinya dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alam, termasuk energi. Namun, kekayaan tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kekuatan ekonomi yang berdaulat. 

Ketimpangan antara potensi besar dan realitas ketergantungan impor menjadi tantangan yang dinilai harus segera dijawab melalui kebijakan strategis jangka panjang.

Ketergantungan Impor Energi Jadi Titik Lemah

Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, menegaskan bahwa selama Indonesia masih bergantung pada impor energi, ketahanan ekonomi nasional tidak akan sepenuhnya kuat. 

Menurutnya, struktur ekonomi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada impor bahan bakar minyak dan elpiji. Kondisi tersebut membuat ketahanan energi dan fiskal menjadi rentan terhadap gejolak global.

Eddy menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya energi yang sangat besar. 

Potensi energi surya, hidro, angin, panas bumi, hingga penyimpanan karbon tersedia melimpah di berbagai wilayah. Namun ironisnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk menopang kebutuhan energi nasional.

“Selama kita masih mengimpor energi dalam jumlah besar, selama itu pula ketahanan ekonomi kita tidak akan sepenuhnya kuat. Ketahanan energi bukan sekadar isu teknis tetapi harus menjadi isu strategis nasional,” ujar Eddy.

Paradoks Energi dan Tantangan Pertumbuhan Ekonomi

Eddy menilai kondisi ketergantungan impor energi sebagai sebuah paradoks besar. Di satu sisi, Indonesia dianugerahi sumber daya energi yang beragam dan melimpah. 

Di sisi lain, perekonomian nasional masih sangat bergantung pada pasokan energi dari luar negeri. Situasi ini dinilai menghambat upaya penguatan ketahanan ekonomi jangka panjang.

“Potensi energi kita sangat besar, baik energi terbarukan, sumber daya fosil, hingga kapasitas penyimpanan karbon. Tetapi faktanya, perekonomian nasional masih bergantung pada impor BBM dan elpiji. Inilah paradoks energi yang harus segera kita selesaikan untuk wujudkan ketahanan energi,” sambung Eddy.

Menurut Eddy, ketahanan energi merupakan prasyarat utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga delapan persen. 

Ia menyebut capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04 persen patut disyukuri, namun target yang lebih ambisius membutuhkan fondasi energi yang lebih kuat dan mandiri.

“Capaian pertumbuhan 5,04 persen patut kita syukuri. Namun jika kita ingin mencapai target pertumbuhan 8 persen, kita harus jujur melihat tantangan perekonomian kita, salah satunya adalah paradoks energi,” ucap Eddy.

Rencana Transisi Energi dan Ancaman Iklim

Dalam pandangannya, Eddy menilai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2025–2034 sebagai instrumen kebijakan yang sangat krusial. 

RUPTL tidak hanya berfungsi sebagai perencanaan pasokan listrik nasional, tetapi juga menjadi peta jalan transformasi energi Indonesia dalam sepuluh tahun ke depan.

Transisi menuju energi bersih dinilai tidak bisa ditunda lagi. Eddy menegaskan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata terhadap perekonomian nasional, kesejahteraan masyarakat, serta keberlanjutan pembangunan. Dampak krisis iklim sudah dirasakan secara langsung di berbagai wilayah Indonesia.

Menurut Eddy, sepanjang 2025 Indonesia menyaksikan eskalasi bencana iklim di Sumatera, Jawa, hingga Bali. Banjir, longsor, dan cuaca ekstrem tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan kerugian ekonomi dalam skala besar.

“Krisis iklim bukan lagi risiko yang akan datang. Ia sudah hadir di tengah kita, dan dampaknya sangat nyata bagi masyarakat,” jelas Eddy.

Risiko Ekonomi Jika Mitigasi Tidak Diperkuat

Eddy mengingatkan bahwa tanpa kebijakan mitigasi dan adaptasi yang kuat, krisis iklim berpotensi menekan pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia secara signifikan. 

Ia memperkirakan tekanan tersebut bisa melebihi satu persen pada 2030 apabila tidak diantisipasi sejak dini.

Dampak lanjutan dari krisis iklim juga berpotensi menyebabkan hilangnya ratusan ribu lapangan kerja. 

Selain itu, beban fiskal negara akan meningkat seiring dengan kebutuhan penanganan bencana dan pemulihan ekonomi. Situasi tersebut juga dapat menurunkan daya tarik Indonesia di mata investor.

Menurut Eddy, transformasi energi dan penguatan ketahanan energi nasional harus ditempatkan sebagai prioritas strategis. 

Langkah ini tidak hanya penting untuk mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga menjadi kunci menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan pembangunan di tengah tantangan global yang semakin kompleks.

Dengan memanfaatkan potensi energi secara optimal dan mempercepat transisi energi bersih, Indonesia diharapkan mampu membangun ketahanan ekonomi yang lebih kokoh. 

Eddy menegaskan bahwa kemandirian energi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak demi masa depan ekonomi nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index